Kamis, 23 Oktober 2008

Operation Deicide?



Kita akan membicarakan tentang kemungkinan perlunya membunuh Tuhan.

Ya, membunuh Tuhan yang Maha Esa itu.

“Boys! Defeat God, then we’ll dine in paradise!”
* * *
Voltaire pernah berkata, bahwa kalaupun Tuhan itu seandainya tidak ada, maka mesti segera diciptakan. Sebab Tuhan itu, menurut Voltaire, mutlak diperlukan oleh manusia dan segala isi dunia. Namun pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin Tuhan justru perlu dihabisi.
Iya. Mungkin pada situasi tertentu, manusia mesti bahu membahu untuk membunuh Tuhan. Tuhan yang menciptakan mereka. Atas nama kemanusiaan.
Situasi seperti apa?
Situasi di mana ternyata keberadaan Tuhan justru membahayakan manusia.

Bagian I : Sang Diktator
Sebuah sudut pandang
Saya tidak pernah bertemu dengan Tuhan secara langsung. Oleh sebab itu, saya tidak tahu seperti apa wujud beliau, dan seperti apa kepribadian beliau. Saya hanya bisa mereka-reka saja. Tuhan itu seperti apa? Saya pun mulai bertanya dengan berbagai orang yang bisa saya tanyakan pendapatnya. Responnya bermacam-macam.
Salah satu jawaban yang saya terima, membuat saya menjadi sedikit paranoid.
Kalau Tuhan ternyata memang seperti yang digambarkan oleh pernyataan tersebut, boleh jadi kita mesti bersiap-siap untuk perang melawan Tuhan.

Tuhan yang Maha Kejam
Menurut gambaran yang ditarik berdasarkan pendapat berbagai pemahaman yang tersebar di seluruh penjuru dunia, Tuhan adalah the ultimate dictator. Manifestasi segala komponen megalomaniak yang ada. Pemimpin yang paling brutal. Monster yang paling haus darah.
Ia menciptakan manusia-manusia yang lemah hanya untuk dijadikan sebagai mainan saja. Dan Ia juga sadis — Ia memerintahkan para manusia-manusia lemah itu untuk melakukan apa-apa yang Ia inginkan. Berikut bentuk-bentuk penindasan yang Ia lakukan;
Pertama, Ia memerintahkan mainan-mainan-Nya tersebut untuk mencari sendiri ‘aturan main’ (baca: agama) dari permainan sadis-Nya. Dan itu tidak mudah. Memilih mana yang benar di antara sekian banyak agama tersebut sangatlah sukar — manusia-manusia yang berotak cemerlang pun masih belum dapat merumuskan satu jawaban pasti agama mana yang sebenarnya diinginkan Tuhan. Beberapa memilih agama A, beberapa memilih agama B, dan seterusnya. Di sisi lain, beberapa orang bahkan tidak perlu berpikir — karena kebetulan terlahir di lingkungan yang telah beruntung memilih agama yang benar.
Lebih lanjut, setelah seseorang mampu meraih ‘jalan yang benar’, aturan yang diinginkan Tuhan untuk dilalui pun teramat terjal. Ia sengaja membuatkan hawa nafsu yang membara pada manusia-manusia bikinan-Nya dan memerintahkan mereka untuk tidak memenuhi hasratnya tersebut. Segalanya dilarang — ada saja yang salah. Maksudnya sendiri tidak jelas; mungkin supaya Ia lebih terhibur melihat penderitaan mereka.
Akhirnya, kalau mainan-mainan-Nya tersebut gagal memenuhi apa yang Ia inginkan dengan sempurna, maka Ia akan menyiksa mereka dengan hukuman yang amat sangat berat. Ia tidak akan ragu sama sekali dalam menyiksa — termasuk merebus hidup-hidup seorang nenek tua tak berdaya yang kebetulan sial memilih agama yang salah ketika hidup, selama-lamanya.

Analogi
Mari berangkat lebih jauh.

Kebengisan Tuhan dalam gambaran beberapa kaum tertentu dapat dianalogikan menjadi seorang kaisar feudal yang keji dan barbar. Dalam skala yang lebih kecil, tentunya.
Katakanlah sang kaisar memungut beberapa bocah-bocah budak tawanan perang yang sudah sekarat, lalu merawat mereka, dan memberikan mereka rumah dan pekerjaan. Ini adalah pekerjaan yang mulia — namun bukannya tanpa pamrih. Sang kaisar memerintahkan mereka untuk selalu memuji-mujinya setiap saat. Mereka harus tunduk dan patuh, kalau tidak, mereka akan disiksa oleh algojo-algojo kekaisaran. Jadi kalau misalnya mereka telat sedikit saja dalam upacara-upacara memuji-puja sang kaisar, mungkin jari mereka akan dipotong, atau mata mereka dicungkil keluar, atau dikastrasi, atau apalah.Hal ini mirip dengan sang Tuhan bengis. Ia menciptakan manusia, bukannya tanpa pamrih. Mereka harus melakukan apa yang ia inginkan, kalau tidak, akan disiksa– selama-lamanya di neraka. Tentunya jasa Tuhan lebih besar dari jasa sang kaisar, akan tetapi hukumannya juga lebih brutal. Namun makhluk-Nya yang percaya akan gambaran Tuhan yang semacam ini tetap bersikeras bahwa Ia telah berjasa besar dengan menciptakan mereka, dan tentunya mereka boleh diperlakukan-Nya semaunya. Mereka lupa, bahwa diciptakan untuk hidup di bawah permainan kejam seperti itu bukanlah suatu yang benar-benar bagus. Mungkin lebih bagus lagi kalau mereka tidak diciptakan.
Nah, terkadang, sang kaisar berhasil dilenakan oleh bujuk rayu salah satu budaknya. Mungkin budak yang satu ini begitu patuhnya, sehingga permintaan-permintaan sang budak pun dituruti. Mungkin seekor kuda, atau perhiasan emas, atau harta lainnya. Perlu diingat bahwa budak yang patuh pada sang kaisar belum tentu berbudi pekerti. Boleh jadi ia hanya mencari muka — lembut pada sang kaisar, namun bengis pada sesama budak.Sang Tuhan bengis pun demikian. Hamba-Nya yang tidak kenal letih memuja-Nya, walau tidak berbuat apa-apa bagi orang lain, akan dikabulkan permohonannya. Serupa dengan kasus sang kaisar, walaupun sang hamba tidaklah banyak berbuat baik pada sesama dibandingkan hamba yang lain. Implikasinya? Seseorang yang memilih agama yang salah, lalu mati demi menyelamatkan seorang anak kecil dari tabrakan, akan digoreng di neraka selamanya. Sedang yang mengikuti jalan-Nya, sekalipun hanya sibuk berkomat-kamit memuji-Nya sepanjang hidup dan hobi mempergunjingkan orang yang tidak seiman dengannya, akan menikmati surga yang kekal.
Persamaannya? Baik sang kaisar maupun Tuhan versi bengis ini lebih menyukai hamba PENURUT daripada yang BERMORAL.
Yang paling berbau paradoks dan oksimoron adalah bahwa sang kaisar masih menganggap dirinya sebagai pemimpin yang bijak dan pengasih.Sang Tuhan versi bengis? Hohoho, bahkan pakai atribut Maha-, padahal…
Ketika kita menemui kaisar seperti itu, kita menyebutnya ‘kejam’.
Namun untuk kasus Tuhan (versi yang bengis), kita menyebutnya ‘maha penyayang’.
Kenapa? Sudah terlanjur cinta? Mungkin tidak. Mungkin anda hanya takut.

Is it love, or is it fear?

Kalau anda tergolong yang menyembah Tuhan (yang katanya) seperti itu, ada baiknya mulai berpikir. Apa Tuhan seperti itu pantas dicintai? Jujur saja… Ditakuti, tentu. Dicintai? Nanti dulu.

Menyembah Tuhan yang seperti itu mirip dengan menjilat seorang kaisar yang barbar (seperti perumpamaan di atas) — kita memuja-muja dia supaya diberikan hadiah dan menghindari hukuman, dan terkadang (seringkali, bahkan) mengabaikan kompatriot-kompatriot kita demi keselamatan pribadi.

Dan, tentunya, berpura-pura dan membohongi diri sendiri bahwa Dia pantas dan patut diperlakukan demikian, karena merupakan sang Maha Pengasih. Yeah, right…

Bagian II : Pemberontakan
Deicide is the killing of a god or a divine being.

(Entry Wikipedia)

Kalau memang seperti itu yang terjadi, maka Tuhan mesti dibunuh.
Masuk akal, bukan?
Logis, bukan?




Ah, memang rencananya cukup baik, namun pelaksanaannya akan sangat sulit. Membunuh Tuhan tidak mudah.

Bagaimana caranya saya tidak bisa berpikir. Mungkin ketika kita disiksa di neraka, kita menyusun plot kudeta, mempersuasi para malaikat neraka dan setan-setan untuk bekerja sama dengan kita, dan menyerbu surga. Para penghuni surga diharapkan dapat mengalihkan perhatian sang Maha Diktator, dan kita akan berperang.

Berperang, supaya tidak ada lagi nenek-nenek tua yang dibakar tanpa akhir.
Berperang, supaya tidak ada lagi orang-orang kurang beruntung yang disiksa tanpa rasa kasihan.

Kalau kita kalah, mungkin kita akan lenyap. Atau dimasukkan ke neraka. Tapi kita tidak sendiri. Kalau kita menang, maka keadilan akan tegak.

Lalu kita tinggal mendirikan majelis demokrasi di surga. New World Order. Atau New Afterlife Order, atau apalah.

…Mungkin Nietzsche bisa menjadi presiden. Atau Ingersoll, Russel, atau Dawkins, atau malah Adrian Mutu *ngaco*…

Bagian III : Antiklimaks

Ah, tapi mungkin perang itu tidak perlu.

Tidak. Perang demi membunuh Tuhan itu tidak akan diperlukan.

Kita tidak akan perlu memprotes Tuhan.

Karena bagi saya, Tuhan tidak seperti itu.

Yang menganggap Tuhan itu bengis seperti di atas, sudah keliru. Tuhan tidak seperti itu. Namun ia tidak akan turun meluruskan persoalan. Ia hanya akan menghadiahi kita apa yang kita pantas dapatkan nanti. As you sow, so will you reap. Ia tidak akan mengganggu manusia saat ini, Ia tidak ingin terjadi anomali dalam proses pemikiran manusia. Biarkan saja. Bagi saya, yang menyiksa diri karena Tuhan (akibat salah mengira Tuhan sebagai sang Maha Bengis) pantas dihadiahi hadiah yang berlipat.

Sebab mereka takut pada Tuhannya.

Dan Tuhan akan menghadiahi mereka, sebagaimana seorang ayah haru melihat seorang anaknya begitu patuh padanya sampai-sampai melupakan kebahagiannya sebagai seorang anak.

Tuhan yang kejam itu hanya ilusi. Fatamorgana.

Tuhan yang mabuk puja puji itu hanya ilusi. Fatamorgana.

Tuhan yang gemar mengutuk itu hanya ilusi. Fatamorgana.

Segala ilusi itu terjadi akibat usaha manusia-manusia yang tidaklah sempurna demi mengenal Tuhannya. Mereka terus berusaha, selama ribuan tahun. Sejak dari muara sungai Nil di Mesir ribuan tahun sebelum masehi sampai meja-meja filsuf di antara timbunan pencakar langit.

Dan saya entah kenapa memperoleh impresi bahwa Sang Maha Bijak hanya terdiam saja. Ia tidak suka mempermasalahkan benar dan salah. Ia hanya suka melihat kelembutan di antara makhluk-makhluk-Nya.

Akhirnya dengan ini, saya pun mengurungkan niat saya menyusun strategi membajak neraka demi menyerbu surga di hari pembalasan nanti. Tidak perlu.

In God we trust.
http://rosenqueencompany.wordpress.com

Tidak ada komentar: